Skip to main content Skip to main navigation menu Skip to site footer. This is the second regional island report published by Kukila, the first covering Sulawesi in Downloads Download data is not yet available.
How to Cite. Surat yang kaukirim bersama selembar catatan harian kepada Kukila sebelum pernikahan kami aku temukan bersembunyi di tumpukan celana dalam Kukila di lemari.
Ia merahasiakannya. Aku menemukannya. Aku, tanpa kausadari, sering pula menemukan aroma napasmu bercampur bau kretek tertinggal di tempat tidur kami. Aku tahu akhirnya cinta kalian dulu rupanya tidak pernah 42 pustaka-indo. Tetapi kau tak salah. Kukila tak salah. Bukan karena perselingkuhan dulunya aku pikir ini bukan perselingkuhan kalian yang membuatku ingin bercerai dengan Kukila.
Bukan karena itu. Tetapi perihal lain Jika aku berada di posisimu, aku akan melakukan hal yang sama. Pilang, aku yang salah. Semoga kau tidak jijik mendengarnya, jika jujur aku katakan yang sebenarnya. Ada satu hal yang tidak pernah kauketahui hingga hari ini. Aku cemburu kepada Kukila. Bukan cemburu kepadamu karena tidur dengan istriku, karena telungkup di atas tubuh telanjang telentang Kukila. Kepada Kukila. Kepada perempuan yang istriku itu. Bukan kepadamu. Sejak kita SMP, aku menyukaimu.
Kau mungkin tidak pernah sadar aku sering diam-diam dengan dada berdebar mengamatimu dari balik pintu kelas. Bukan sekadar menyukaimu, aku mencintaimu. Aku yang salah. Aku tidak pernah menyampaikan perasaanku kepadamu. Alasannya sederhana: aku tidak mau kau menghindariku. Aku memilih menjadi sahabatmu, saudaramu. Aku katakan yang sebenarnya. Aku menikah dengan Kukila karenamu.
Saat ayahku memaksaku menikahi Kukila, aku memutar kepala berhari-hari. Ketika aku menemukan jawabannya, aku akhirnya bersedia. Waktu 43 pustaka-indo. Mungkin ini kedengaran memuakkan, tetapi begitu adanya. Aku menikahi Kukila karena aku mencintaimu. Kau mungkin tidak menyadari bahwa setiap hal yang kausarankan selalu aku lakukan. Pilang, karena aku mencintamu. Itulah mengapa aku bersedia menikah dengan Kukila karena itu saranmu.
Meskipun sangat bertolak belakang sesungguhnya, sebab aku menikahi orang yang dicintai orang yang aku cintai. Bukan bertolak belakang, tetapi aneh. Ini bukan hal yang dibuat-buat, Pilang. Iya, sejujurnya, begitulah perkaranya. Saat menyadari ketidakmampuanku memenuhi keinginan orangtua kami yang ingin memiliki cucu, aku memikirkanmu sebagai penyelesaian dengan perasaan senang yang tidak bisa aku gambarkan.
Jika aku saja tidak mampu menggambarkannya, aku tahu, kau lebih tidak mampu menerimanya. Hal itu tidak susah dilakukan. Kau mencintai Kukila, Kukila mencintaimu, dan aku mencintaimu. Maka jadilah keputusan memintamu meniduri istriku. Memiliki anak, meski penting bagi kami, perkara lain penting lainnya, aku senang bisa bertemu denganmu, mencintaimu dengan caraku sendiri— seaneh apa pun bagimu. Semakin lama, aku semakin sadar telah kehilangan orang yang aku cintai. Kau, Pilang. Aku cemburu kepada Kukila yang bisa memilikimu seutuhnya, semen44 pustaka-indo.
Semakin lama perasaan itu tumbuh menjadi perasaan sakit hati. Kalian menganggap aku tidak ada. Kalian bebas bercinta dan aku bukan siapa-siapa bagi kalian. Selain kehilangan dirimu, aku telah kehilangan harga diri.
Aku pernah tidak peduli kepada harga diri, tetapi entah kenapa hal itu membuatku sakit hati. Sakit hati yang dalam, Pilang.
Pilang, aku sudah memutuskan bercerai dengan Kukila. Kukila telah sepakat, mungkin dengan terpaksa. Ia menangis. Tetapi itu karena ia merasa tidak lagi punya dewa pelindung yang akan menyembunyikan perselingkuhan kalian. Setelah keputusan perceraian itu, aku tidak lagi mau tahu kalian akan meneruskan perselingkuhan atau tidak. Tetapi jika kau mau mendengar saranku, sebaiknya kalian menghentikannya. Aku percaya kutukan melimpah akan menimpa kalian nanti.
Aku bukan peramal, bukan penyihir, bukan paranormal, atau sejenisnya, tetapi aku mendapatkan keyakinan itu, entah dari mana. Mungkin dari mimpi atau entah dari mana. Kau boleh percaya, boleh juga tidak. Tetapi, ah, itu urusan kalian. Pilang, sebelum aku hilang dari kalian, aku ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih untuk anakanak kalian yang menyelamatkanku dari cemoohan orangtua kami. Terima kasih, akhirnya aku bisa mengucapkan perasaan cinta yang dulu pernah menyiksaku 45 pustaka-indo.
Kisah kita ini tidak ubahnya dongeng. Aku, Pilang, dan Kukila. Pilang, kalian memiliki tiga anak. Anakku juga. Mereka memanggilku Ayah. Semoga mereka tidak pernah tahu seluruh rahasia bobrok ini. Aku mencintai mereka, sebesar cinta Kukila kepada mereka, sebesar cinta Kukila kepadamu, sebesar cintaku kepadamu.
IBU, setelah sekian lama pergi, anak bungsumu ini mulai memikirkan bau payudara dan elusan tanganmu. Sungguh, aku malu kepada diri sendiri juga kepadamu. Aku tidak menemukan hangat rengkuh tangan Ibu setelah jarak begitu panjang terentang antara tubuhku dan jari-jarimu. Aku telah mencoba mencarinya pada perempuan-perempuan yang aku temui di sini dan di tempat-tempat yang pernah menampung tubuhku, tetapi aku tidak menemukan apa pun.
Aku bukan tidak menemukannya. Ada sesuatu yang lain dalam diriku, kenyataan yang menjadikan aku berbeda. Aku jatuh cinta, Ibu. Kau mungkin senang mendengarnya. Anak lelakimu satu-satunya telah bertumbuh dewasa. Tetapi hal sebenarnya tidak seperti yang kau46 pustaka-indo. Aku jatuh cinta bukan kepada seorang perempuan. Seorang lelaki telah membuatku rela jadi rumput kering di bawah sol sepatunya. Aku mencintainya, Ibu. Aku mencintainya, seperti burung kepada angin yang membantunya terbang.
Seperti penulis kepada hurufhuruf yang membuatnya dibaca. Seperti sungai kepada laut yang menampung lelah perjalanannya. Seperti laut kepada langit yang menjatuhkan dan mengisapnya berkali-kali. Apakah kau marah mendengarnya, Ibu? Satu-satunya anak lelaki yang lahir dari rahimmu kini mengecewakanmu.
Maka, aku sungguh merindukan hangat payudara dan elusan tanganmu. Aku ingin menangis, Ibu. Seperti anak kecil yang menginginkan air susu. Seperti pohon yang ditumbangkan badai. Seperti ranting kering tersangkut di akar-akar pohon yang tidak dikenalnya.
Ibu, hanya kepadamu aku mampu berkata seperti ini. Seharusnya aku malu dengan pengakuan ini. Kau adalah ibuku. Sungguh, itulah sebabnya. Cinta, Ibu, pernahkah bisa diterima tanpa menyiksa?
Aku bertanya kepadamu, Ibu, kepada perempuan yang dikeringkan kesendirian bertahun-tahun, tanpa suami, tanpa anak-anak. Aku telah keliru, Ibu, meninggalkanmu ke jarak yang terlalu panjang untuk rentang lenganmu. Kini, aku ingin menempuh lagi jarak itu, pulang ke pahamu yang pernah memangkuku. Ke dadamu 47 pustaka-indo. Ibu, aku telah salah memilih hadiah untuk perceraianmu dengan Ayah. Aku kini mampu membayangkan bagaimana sepi bisa membunuhmu tanpa seorang pun anakmu tahu.
Ibu, kini aku datang dengan beban yang menambah berat ringkih pundakmu. Maafkan aku, Ibu. Ke mana lagi seorang anak menumpahkan air matanya selain kepada sungai yang mengalir di pangkuan ibunya?
Aku tidak pernah sekali pun meragukan sungai di pangkuanmu itu, Ibu. Kali itu selalu jernih mengalir dan setia menunggu air mata kami datang mengeruhkannya berkali-kali. Aku tahu air matamu telah jadi mata air sungai itu—juga untukku. Hujan sering kali meluapkan sungai, bukan? Aku tahu selalu ada banjir di sana, siap menghanyutkan banyak hal—kecuali kasihmu kepada kami, anak-anakmu. Aku salah seorang penebang pohon yang membuat banjir selalu tiba di sungai itu.
Ibu, aku salah. Aku melupakan sepasang sayap yang dulu kautanam di tubuhku. Kini sebagai bayaran, aku akan mengenakannya dan terbang menuju rentang tanganmu yang menunggu setiap waktu. Aku tidak tahu diri. Setelah menyadari kekalahan hadir di ujung hidung, justru kembali mengemis-ngemis kepada sosok yang pernah ia tinggalkan. Tetapi, aku tidak pernah putus menyadari Ibu tidak akan mengang48 pustaka-indo. Bagaimanapun bajingannya ia.
Kasih Ibu lebih banyak daripada udara yang bisa dihirup. Kesalahan seperti apa pun mampu dicucinya bersih. Sejauh-jauhnya pergi, satu-satunya rumah bagiku adalah tempat Ibu berada. Dan pulang, kata itu tidak akan ada tanpa Ibu. Apakah kau sedang duduk di beranda, Ibu? Sedang menunggu pintu pagar besi di depan rumah dibuka tangan salah satu anakmu? Ini janji anak bungsu. Aku akan datang menemuimu dan membenamkan seluruh kerinduan yang pernah kuingkari setengah mati.
Tidak lama lagi. Aku akan datang dengan oleh-oleh sederhana: diriku yang cuma berisi penyesalan-penyesalan. NAWA baru saja selesai menulis surat untuk ibunya. Ia ke halaman depan membujuk anaknya untuk masuk ke rumah. Gelap akan segara tiba seperti pasukan penyebar penyakit. Kami belum selesai. Nawa masuk sambil menggelenggeleng. Beberapa hari setelah pindah ke sini bersama menantumu, kami menanam pohon.
Sebatang pohon aku beli dari seorang lelaki tua yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain menjajakannya. Aku tidak tahu nama pohon itu, seperti pula ketidaktahuan tetangga-tetanggaku. Kami sepakat menyebutnya Pohon Rahasia.
Aku tidak tahu dari mana nama itu kami temukan. Begitulah, selalu saja arah datang tidak bisa dikira-kira, bukan? Tahun-tahun telah mengubah pohon itu menjadi raksasa baik hati yang rambutnya melindungi rumah kami dari jahatnya matahari bulan kemarau. Ia bertumbuh dengan laju tidak kami sangka. Ia seperti orang yang pernah meninggalkan kita, dan ketika bertemu beberapa tahun kemudian, kita kaget karena perubahan yang telah terjadi.
Mungkin seperti itu. Aku tidak punya cara lebih baik untuk menjelaskannya. Aku yakin Ibu memahami maksudku. Mungkin seperti kekagetan Ibu jika tiba-tiba aku pulang. Kaget melihat semua perubahanku. Pohon itu betul-betul telah menyediakan surga bagi kami pada musim-musim kering yang datang terlalu sering di kota ini. Dahan-dahannya yang kokoh ditum50 pustaka-indo. Batangnya kekar dan selalu kami percaya bisa melindungi keluarga kami. Ibu, akhir-akhir ini ada yang aneh terjadi di sini. Cucumu, Tumbra, selalu berada di bawah Pohon Rahasia dan mengajaknya bicara.
Ia dan pohon itu bagai sepasang sahabat yang punya bahasa sendiri untuk saling berkomunikasi. Tumbra selalu tertawa sendiri di bawah pohon itu. Terpingkal-pingkal seperti mendengarkan lelucon paling lucu di dunia. Di lain waktu, ia bisa menangis tersedu-sedu seperti mengalami kejadian paling menyedihkan. Setiap hari, sepulang sekolah, Tumbra selalu berada di sana, di bawah pohon itu.
Aku sudah coba membelikannya begitu banyak mainan, tetapi pohon itu tidak bisa dikalahkan. Ia rela berada di sana berjam-jam. Aku sama sekali tidak paham apa yang sedang ia lakukan. Pernah terpikir olehku membawanya ke psikolog, tetapi ayahnya menganggap itu belum perlu dilakukan. Anak-anak memang punya fantasi yang berlebih sehingga apa saja bisa mereka lakukan, katanya.
Ibu, bagaimana menurutmu? Aku tahu, Ibu punya kebijaksanaan sendiri yang mungkin tidak sempat aku pelajari. Aku malu sesungguhnya, kembali kepadamu dengan jalan seperti ini.
Setelah pergi menjauh beribu-ribu kilometer dari pintu rumahmu, kini aku datang membawa masalah untukmu. Ibu, setiap anak di dunia ini me51 pustaka-indo. Aku salah seorang anak yang meyakini hal itu. Mengenai cucumu itu, tolonglah aku, Ibu. Adakah sesuatu yang kau mau katakan? Aku selalu khawatir. Kini aku tahu, pasti kau menyimpan kekhawatiran yang sama terhadap anak-anakmu.
Tumbra tumbuh menjadi lain. Sudah berbulan-bulan ia selalu berada di sana seperti bocah gila, berbicara dengan sebatang pohon. Sebatang pohon, Ibu. Dua malam lalu di meja makan, ayahnya berpikir untuk menebang pohon itu.
Sebelum sempat menghabiskan makanannya, cucumu berlari ke kamarnya dan menangis. Ia tidak mau bicara kepada kami. Aku tidak sepakat menebang pohon itu. Bagiku, meski hanya dugaan, pohon itu telah menginspirasi banyak orang di kota ini untuk menanam pohon di halaman rumah mereka. Apalagi pada bulan September seperti sekarang. Bukankah pohon-pohon seharusnya menjadi sesuatu yang berharga?
Ya, ini bulan September, bulan yang mengingatkanku kepada keringnya udara di kota yang merawatmu, kota yang melahirkanku. Apakah menurutmu, pohon memang menyimpan rahasia-rahasianya sendiri dan akan memilih anak tertentu untuk diajaknya bicara? Ibu, pertanyaan itu hal paling tidak logis yang pernah aku pikirkan.
Namun, 52 pustaka-indo. Ibu, kumohon bicaralah sesuatu tentang ini Rumah sepi. Tidak ada anak-anak sejak lama. Tidak ada suami. Tidak ada siapa-siapa kecuali bayang diri sendiri saat berada di sekitar cahaya. Tetapi ia selalu menghindari cahaya.
Ia lebih memilih gelap dan pengap kamarnya. Hujan berhari-hari seperti tamu menjemukan. Tamu itu bicara tanpa mengenal tanda baca—juga tidak mengenal adab berkata-kata. Ia pembicara yang tidak memiliki telinga, tidak pernah membiarkan lawan bicaranya ikut bersuara.
Ia terus saja bicara. Bicara dan bicara dengan suara menjengkelkan seperti dosa-dosa. Sesungguhnya bukanlah hal tiba-tiba tanpa sebab saat pukul dua malam itu ada gemuruh air datang dari puncak-puncak gunung menenggelamkan kota, rumahnya, dan dirinya sekaligus.
Kota kecil itu, Macawe, yang selalu ia khawatirkan akan karam, kini sungguh-sungguh tenggelam. Kota itu tenggelam seperti kaleng-kaleng susu berisi lumpur di satu sumur tua. Sudah sejak lama ia khawatir, kehilangan hijau pohon-pohon akan menyebabkan hal itu. Sesaat sebelum tubuh Kukila pergi terbawa arus air, 53 pustaka-indo.
Ia melihat semua anaknya, yang ia rindukan, datang menemuinya. Satu per satu menangis, bergantian memeluknya. Tubuh ringkihnya habis dalam rengkuh anak-anaknya. Mimpi aneh. Ia ingin sekali menangis dan membalas pelukan mereka. Ia ingin sekali mengucapkan terima kasih. Namun, sebelum sempat melakukan dan mengatakan apa-apa, bah datang menghapus huruf-huruf yang ingin tumbuh jadi kalimat di ujung lidahnya.
R USDI telah lama berusaha mengubur kenangan. Beratus-ratus pohon ia tanam di satu desa bernama Maccobbu. Pohon-pohon, pikirnya, akan merimbun jadi hutan dan menyembunyikan dirinya—termasuk semua yang ada di balik ingatannya.
Kenangan dan ingatan yang menghidupkannya adalah perang paling hebat bagi manusia, atau setidaknya bagi Rusdi sendiri. Semua yang ia cintai telah menjelma masa lalu yang berkali-kali kembali bagai bencana di malam buta. Batang-batang pohon kini menjadi sahabat yang menyediakan diri mereka mendengar seluruh kenangan itu habis dikisahkan.
Kenangan-kenangan itu seperti daun 54 pustaka-indo. Berulang-ulang kenangan itu telah jadi daun kering, lalu menghijau kembali. Pohon-pohon terus tumbuh beranak-pinak menjadi hutan. Kini, di sanalah Rusdi berada, di satu rumah sederhana. Ia menyembunyikan masa lalunya. Ia sembunyi dari masa lalu, tepatnya. Rahasia, katanya, akan aman di batang-batang pohon. Tetapi, nama-nama itu, Kukila, Pilang, dan anakanak mereka, selalu datang bagai musuh meminta diadakan perundingan.
Setiap malam, selalu saja ada setidaknya seorang dari mereka tiba menyusup dan mengajaknya berdamai—atau berperang. Sebelum tidur, Rusdi selalu ingat dongeng yang pernah Kukila ceritakan kepadanya. Setiap hari, ia menulis surat: untuk Kukila, untuk tiga anaknya. Sesekali dia menulis surat untuk Rusdi. Alangkah menyiksa berusia tua dengan masa lalu sedemikian berat. Tidak ada perbandingan yang cocok 55 pustaka-indo. Surat-suratnya bertumpuk, berdesak-desak di setiap laci di kamarnya.
Di laci meja dan lemari. Masa tua telah jadi kutukan. Suatu waktu, katanya, ia akan membakar helai-helai surat itu. Namun, ia belum pernah mampu melakukannya. Jika ia membakarnya, abu suratsurat itu akan meresap ke tanah dan direguk akar-akar pohon. Rimbun pohon akan menyimpan atau mengisahkannya kepada angin, burung, malam, atau kepada apa pun yang mereka pilih.
Kenangan, katanya, barangkali seperti perasaan sehelai kertas ketika seseorang menulis atau menggambar pohon di atasnya. Ia tidak ubahnya sehelai kertas dengan gambar penuh pohon. Selain menulis surat, Pilang juga menulis satu novel fantasi—semacam dongeng. Dia baru mampu menyelesaikan satu bab—dan tidak tahu bagaimana melanjutkannya. Pohon itu menceritakannya kepadaku suatu siang saat aku istirahat selepas memandikan sapi-sapiku. Sebelumnya aku tak pernah berani berteduh di bawah pohon itu.
Orang-orang kampung mengatakan pohon 56 pustaka-indo. Pada sebuah batu di kaki pohon itu, aku berbaring. Angin padang seperti belaian lembut tangan Ibu. Aku tertidur. Kemarau itu akan membunuhku dan aku tak ingin mati sebelum rahasia ini aku ceritakan kepada seseorang. Aku sudah tua. Sangat tua. Sudah berusia ratusan tahun. Mungkin pohon itu melihatnya sebagai isyarat bahwa aku setuju mendengarkan ceritanya. Ia selalu datang dan duduk sendiri tak mengatakan apa-apa. Ia hanya memandang ke arah barat, ke seberang padang rumput.
Di sana, ada sebuah rumah panggung berdiri 57 pustaka-indo. Rumah panggung itu dihuni sepasang suami-istri. Mereka hidup bertahun-tahun tetapi tak memiliki seorang anak pun. Dengan sebungkus tembakau Pilang selalu tiba di kakiku.
Selalu seperti itu, setiap malam. Pada musim penghujan ia tak pernah lupa membawa selembar daun pisang sebagai payung. Ia duduk dan memandang sisi kiri rumah panggung itu dengan sepasang mata cokelatnya.
Asap tebal tembakau tak pernah henti mengepul dari sela bibirnya yang hitam dan sedikit bergetar. Sisi kiri rumah panggung itulah yang dipandangnya nyaris tanpa kedip.
Rumah itu memiliki dua jendela di sisi kirinya, aku tak pernah melihat sisi kanan rumah itu—dari sini sisi kanan rumah itu tak bisa terlihat. Jika malam, dua jendela itu terlihat seperti dua buah bulan persegi empat. Atau kadang-kadang terlihat seperti kapal yang berlayar ke utara dengan cahaya lampu dari jendela-jendelanya. Jendela yang di belakang bercahaya lebih redup dibanding yang di depan. Barangkali karena yang di depan itu ruang tamu, sementara yang di belakang ruang tengah.
Atau mungkin juga disengaja dengan alasan tertentu yang aku tak ketahui. Di jendela yang tak begitu terang itulah setiap malam seorang perempuan dengan rambut terurai duduk memandang ke arah sini. Di jendela depan duduk seorang lelaki, juga memandang ke sini. Setiap malam seperti itu, hingga larut. Ia akan beranjak dari tempat duduknya sambil menggumamkan sebuah lagu yang tak pernah kutahu liriknya.
Aku hanya mendengarnya sebagai nada-nada sedih. Sangat sedih. Tidak, ia tidak menatapku. Ia menatap lelaki yang duduk di kakiku, di tempatmu berbaring sekarang. Bayangannya setengah menutup jendela itu, membuatnya seperti lukisan perempuan hitam dengan latar kuning keemasan.
Kukila akan duduk di sana sampai malam larut, sampai minyak tanah tak terjangkau lagi sumbu obor. Aku tahu kenapa perempuan itu duduk di sana.
Pilang dan Kukila dulu selalu datang ke sini saat masa remaja masih milik mereka. Setiap sore duduk berdekatan di tempatmu berbaring sekarang. Sesungguhnya mereka itu dulunya adalah sepasang kekasih tak terpisahkan. Mereka akan berkasih-kasihan sampai matahari tenggelam. Bertahun-tahun mereka rutin datang ke sini, saling mengucap janji, berbagi bahagia dengan saling mengecup. Tetapi suatu sore, tiba-tiba Kukila datang sambil me59 pustaka-indo.
Ia menjatuhkan dirinya ke pelukan Pilang. Aku dengar mereka sempat bersitegang sejenak. Kukila akan dinikahkan dengan anak pemangku adat, Tumbra namanya. Orangtuanya menerima lamaranTumbra. Kukila tak bisa menolak kemauan orangtuanya.
Aku sempat mendengar Pilang dan Kukila merencanakan pelarian. Aku pikir orangtuamu pernah bercerita tentang hukuman seperti apa yang akan menimpa orang-orang yang berani melarikan diri dari kampung ini. Di sini, di cabangku, pernah sepasang kekasih digantung karena melanggar hukum adat—mereka mencoba lari, namun tertangkap di tengah jalan.
Mereka diseret seperti binatang untuk dibawa ke tengah padang ini, dan di cabangku akhirnya mereka mati, dibiarkan tergantung berharihari seperti orang-orangan sawah. Aku dengar Pilang mengingatkan kisah tragis itu pada Kukila. Tetapi maukah kau tetap menjadi kekasihku?
Di jendela rumah itu setiap malam aku akan duduk memandangmu. Setiap malam. Tetapi jika semalam saja kau tidak duduk di sana, aku akan gantung diri di pohon ini. Setelah pernikahan Kukila dengan Tumbra yang dirayakan dengan meriah—pernikahan dengan mahar sebuah rumah panggung—Kukila setiap malam duduk di jendela rumah panggungnya memandangi Pilang yang duduk di tempatmu berbaring sekarang mengisap gulungan tembakau. Setiap malam selama bertahun-tahun seperti itu.
Ia juga duduk di sana memandang ke sini setiap malam hingga larut, hingga sumbu obor tak mampu menjangkau minyak tanah. Dari sini, jendela depan itu terlihat setengahnya ditutup siluet Tumbra. Rumah panggung itu seperti dinding dengan dua buah lukisan manusia hitam berlatar kuning keemasan. Melihat dua jendela dengan siluetnya masing-masing setiap malam, bisa dipastikan rumah tangga mereka sungguh tawar—mereka mungkin tak pernah bercinta.
Tetapi, kamu tahu apa hukuman bagi 61 pustaka-indo. Apakah kau pernah mendengar, dulu jika ada orang bercerai, mereka akan diikat bersama dan diberi pemberat batu, kemudian ditenggelamkan di perigi?
Tumbra anak pemangku adat, ia tak mungkin melanggar hukum adat. Tumbra tak menceraikan Kukila. Maka setiap malam terlihatlah pemandangan aneh itu: tiga orang diam saling memandang dari jarak jauh. Setiap malam seperti itu hingga larut. Namun, sesungguhnya hal itu tidak aneh sekiranya kau tahu bahwa dulu, sebelum menikahi Kukila, Tumbra juga sering datang ke sini, duduk sendiri di tempatmu berbaring sekarang.
Setelah Pilang dan Kukila pulang ke rumah masingmasing, Tumbra akan duduk sendiri di sini menghadap ke barat, memain-mainkan daun-daun keringku yang jatuh.
Tumbra akan menggumamkan lagu sedih entah apa. Seperti seseorang yang memendam perasaan tak tersampaikan. Dan seperti itulah, bertahun-tahun Tumbra memendam perasaan cintanya dan tak pernah berani mengatakannya. Ia hanya bisa memandang sepasang kekasih itu bercumbu di tempatmu berbaring sekarang, dari jauh, dari balik pohon—dulu selain aku ada beberapa pohon lain di sekitar sini.
Ia tak mampu mengatakannya, meskipun sesungguhnya di kampung ini, 62 pustaka-indo. Setelah Pilang dan Kukila pulang, Sultan Tumbra akan datang ke sini mengungkapkan segala bentuk kekesalannya karena tak pernah bisa mengungkapkan perasaannya itu—hingga larut, hingga suara-suara malam terdengar semakin seram. Suatu malam, seperti biasa, Tumbra datang lagi ke sini. Ia sangat cemburu melihat sepasang kekasih itu berciuman lama di bawah pohon ini, di tempatmu berbaring sekarang. Lalu ia datang menangis, menangis seperti seorang anak kecil.
Setelah menangis ia terdengar menyusun-nyusun rencana. Kukila adalah perempuan itu, yang membenci September dan pohon mangga. Hidupnya didera rasa bersalah yang besar, kepada mantan suaminya, mantan kekasihnya, dan anak-anaknya. Kepada suratlah dia berbicara dan kepada pohon-pohonlah dia menyembunyikan masa lalu, karena rahasia, konon, akan hidup aman dalam batang-batang pohon.
Pengarang ini pintar menciptakan misteri cerita, kemudian mengurainya dengan cara yang menyeret pembaca untuk ikut mengalir sampai akhir. Jangan lupa, bagaimanapun Aan seorang penyair. Di sana-sini muncul jalinan kata-kata bernapaskan puisi yang tidak jarang membuat bahasa ceritanya lebih berbunyi.
0コメント